Saatnya Tenologi Melejitkan Potensi Pesantren
http://www.kompasiana.com/
Terdapat banyak solusi bagi sejumlah besar permasalahan besar masyarakat dan bangsa yang tersimpan di pesantren. Misalnya saja, sebagai lembaga pendidikan tertua dan asli Indonesia, pesantren bisa menjadi tumpuan harapan dalam mencetak generasi handal dan bermoral terutama bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Pesantren juga bisa menjadi tempat penyemaian pemimpin masa depan (the breeding ground of future leaders) dalam banyak bidang. Pesantren juga berpotensi besar menjadi wadah pencetak entrepreneurs yang bisa menggerakkan potensi ekonomi masyarakat. Selain itu, dengan keunikan dan kekhasannya, pesantren bisa menjadi kebanggaan kita bersama sekaligus cagar budaya dan nilai-nilai ke-Indonesiaan di era global. Sayang, banyak potensi pesantren yang belum tergali. Yang terjadi justru sebaliknya. Lembaga yang seyogyanya adalah tempat kaderisasi ulama dan cendekiawan ini disebut sebagai sarang teroris dan tempat perkecambahan (breeding ground) radikalisme di Indonesia. Pihak pesantrenpun acapkali terlalu menutup diri.
Terdapat banyak solusi bagi sejumlah besar permasalahan besar masyarakat dan bangsa yang tersimpan di pesantren. Misalnya saja, sebagai lembaga pendidikan tertua dan asli Indonesia, pesantren bisa menjadi tumpuan harapan dalam mencetak generasi handal dan bermoral terutama bagi kalangan masyarakat menengah ke bawah. Pesantren juga bisa menjadi tempat penyemaian pemimpin masa depan (the breeding ground of future leaders) dalam banyak bidang. Pesantren juga berpotensi besar menjadi wadah pencetak entrepreneurs yang bisa menggerakkan potensi ekonomi masyarakat. Selain itu, dengan keunikan dan kekhasannya, pesantren bisa menjadi kebanggaan kita bersama sekaligus cagar budaya dan nilai-nilai ke-Indonesiaan di era global. Sayang, banyak potensi pesantren yang belum tergali. Yang terjadi justru sebaliknya. Lembaga yang seyogyanya adalah tempat kaderisasi ulama dan cendekiawan ini disebut sebagai sarang teroris dan tempat perkecambahan (breeding ground) radikalisme di Indonesia. Pihak pesantrenpun acapkali terlalu menutup diri.
Persoalan
bangsa yang tak kunjung usai, mulai dari keterpurukan ekonomi, krisis
kepemimpinan, krisis moral, krisis lingkungan hingga ancama terorisme,
mengharuskan semua elemen dan komponen bangsa untuk siaga dan ambil
bagian sebagai problem solver. Tak terkecuali pesantren dengan berbagai macam potensinya yang masih tersembunyi bak
harta karun. Inilah salah satu tantangan besar kita saat ini, bagaimana
mencuatkan potensi besar pesantren menjadi sebuah kontribusi nyata bagi
masyarakat dan bangsa.
Mengenal Pesantren Lebih Dekat
Menurut Zamakhsyari Dhofier (1982), pesantren berasal dari kata santri. Awalan pe- dan akhiran -an pada kata pesantren bermakna “tempat tinggal para santri”. Sementara itu menurut Profesor Johns dan C.C.Berg, istilah santri berasal dari bahasa Tamil yang berarti guru mengaji, juga berasal dari bahasa India yaitu shastri yang mengacu pada orang yang tahu buku-buku suci agama Hindu. Kata shastri berasal dari kata shastra yang berarti buku-buku suci, buku-buku agama, atau buku-buku ilmu dan pengetahuan.
Sebagai
lembaga pendidikan tertua di Indonesia, pesantren telah ada sejak
ratusan lalu. Pesantren umumnya didirikan oleh kaum Muslim modernis
untuk merespon ekspansi sekolah-sekolah model Belanda saat itu. Kemudian
berlanjut pada masa pembaharuan kurikulum pendidikan Islam sekitar
tahun 1920-an. Momentum perubahan yang cukup revolusioner terjadi pada
tahun 1970-an ketika Menteri Agama Mukti Ali memasukkan sekitar 70
persen mata pelajaran umum kedalam kurikulum madrasah.
Berdasarkan
UU Sisdiknas Tahun 1989, ekuivalensi pendidikan madrasah diakui sama
dengan sekolah umum. Lalu pada tahun 2000, beberapa pesantren di
Indonesia mendapatkan status ekuivalensi dengan sekolah umum. Sejak fase
pembaharuan ini, pesantren kemudian menjadi semacam ‘the holding institution’
yaitu lembaga pendidikan yang tidak hanya mencakup pendidikan agama,
tetapi lebih dari itu, didalamnya juga mencakup pendidikan umum.
Pesantren bahkan juga menjadi pusat pengembangan masyarakat dalam
berbagai bidang, meliputi ekonomi rakyat, seperti koperasi dan usaha
kecil, tekhnologi tepat guna, kesehatan masyarakat sampai pada
konservasi lingkungan.
Dalam
sejarah pendidikan Indonesia khususnya dalam bidang pendidikan Islam,
pesantren terbukti memberi sumbangan sangat besar dalam mencerdaskan
bangsa melalui sistem pendidikan yang sudah ratusan tahun diterapkan.
Sejumlah tokoh penting baik di masyarakat maupun pemerintahan adalah
produk pendidikan pesantren. Para alumni pesantren juga mampu
berkompetisi dan sukses melanjutkan pendidikan di seluruh penjuru dunia,
tidak hanya di wilayah Timur Tengah. Pesantren yang terbukti mampu
bertahan di tengah begitu banyak perubahan yang cepat dan berdampak
luas, membuatnya menjadi harapan masyarakat sebagai pendidikan
alternatif yang di dalamnya tidak hanya mencakup pendidikan umum, tetapi
juga pendidikan kemasyarakatan yang kelak akan memberi nilai tambah
pada alumni-alumninya. Pesantren kian menjadi pilihan masyarakat
terutama kalangan menengah ke bawah ketika biaya pendidikan semakin
meroket.
Sebagaimana
kita ketahui, Indonesia tercatat sebagai negara dengan anggaran
pendidikan terendah di Asia. Menurut data World Bank, anggaran belanja
Indonesia untuk tahun 2003 adalah sekitar 1,5 persen dari Produk
Domestik Bruto (Gross Domestik Product-GDP). Sebagai perbandingan,
anggaran pendidikan di Korea Selatan sebesar 5,3 persen. Vietnam yang
sebenarnya tidak lebih berkembang dari Indonesia, menganggarkan sebesar
2,8 persen untuk pendidikannya. Sementara itu Thailand menggunakan 3,7
persen dari GDP. Angka ini terus mengalami kenaikan pada tahun-tahun
berikutnya dalam rangka meningkatkan kemampuan analisis siswa-siswanya.
Pada
tahun 2006, ketika Indonesia menyisihkan kurang dari 10 persen total
anggaran nasional untuk sektor pendidikan, Cina telah menyisihkan 13
persen, India 12 persen, Filipina 17 persen, Malaysia 20 persen,
HongKong 23 persen, dan Thailand 27 persen. Ketika akhirnya pemerintah
menepati janji untuk mengalokasikan 20 persen APBN untuk anggaran
pendidikan, ini tidak serta membuat sistem pendidikan kita semakin baik.
Korupsi yang sedemikian akutnya di negeri kita juga menggerogoti sektor
pendidikan. Anggaran di sektor pendidikan diperkirakan mengalami
kebocoran hingga 30 persen. Berdasarkan evaluasi pengelolaan dana
alokasi khusus tahun 2009 untuk pendidikan oleh KPK, dari total anggaran
Rp 9,3 triliun yang dibagikan ke 451 daerah tingkat dua, diperkirakan
Rp 2,2 triliun telah diselewengkan di 160 kabupaten atau kota. Sementara
itu menurut temuan ICW, selama kurun waktu 2004-2009, sedikitnya
terungkap 142 kasus korupsi di sektor pendidikan. Kerugian negara
diperkirakan mencapai Rp 243,3 miliar.
Kondisi
di atas masih diperparah oleh kegagalan sistem pendidikan untuk mencetak
generasi muda yang handal dan berdaya saing tinggi. Diperkirakan
terdapat sekitar 40 juta pengangguran di Indonesia akibat kegagalan
sistem pendidikan. Jumlah tenaga kerja tidak terampil dan tidak layak
kerja di Indonesia naik secara eksponensial. Dalam hal sumber daya
manusia, Indonesia dipandang kurang bersaing sebagai tujuan investasi
asing dibandingkan Thailand, Singapura, dan bahkan Vietnam. Namun, kita
adalah yang terdepan sebagai negara pengirim tenaga kerja murah kurang
terampil ke luar negeri terutama untuk sektor informal pekerja rumah
tangga (PRT).
Kegagalan
dan semakin mahalnya biaya pendidikan di sekolah umum membuat
pendidikan berorientasi Islam termasuk pesantren menjadi alternatif yang
banyak dipilih orang tua. Diperkirakan sekitar 20 persen dari anak usia
sekolah di Indonesia masuk ke sekolah-sekolah Islam termasuk pesantren.
Tingkat penerimaan murid baru meningkat sekitar 7 persen setiap
tahunnya, meski banyak ahli menyatakan bahwa kualitas guru dan titik
berat pada studi agama di sekolah-sekolah tersebut memiliki konsekuensi
bahwa kebanyakan lulusan sekolah Islam kurang memiliki ketrampilan yang
diperlukan untuk berpartisipasi pada bursa lapangan kerja yang
kompetitif.
Dari
tahun ke tahun jumlah pesantren terus bertambah secara signifikan.
Berdasarkan data Departemen Agama, pada 1977 jumlah pesantren sekitar
4.195 dengan jumlah santri sekitar 677.384 orang. Pada tahun 1981,
tercatat ada sekitar 5.661 pesantren dengan 938.397 orang santri. Pada
tahun 1985 jumlah pesantren terus mengalami kenaikan menjadi 6.239
dengan jumlah santri mencapai sekitar 1.084.801 orang. Sementara pada
tahun 1997 Departemen Agama sudah mencatat 9.388 buah pesantren dengan
santri sebanyak 1.770.768 orang. Hingga 2007, jumlah pesantren mencapai
14.647 dengan jumlah santri 3.289.141. Pada tahun 2009, jumlahnya
diperkirakan hampir mencapai 17 ribu pesantren. Meski dalam beberapa
waktu terakhir bermunculan pesantren di sejumlah kota-kota besar dengan
fasilitas menyamai lembaga pendidikan bertaraf nasional bahkan
internasional, namun kebanyakan pesantren terdapat di kawasan pedesaan
bahkan daerah pedalaman.
Silabus
standar pesantren meliputi pemahaman Al-Qur’an, bahasa Arab, hukum-hukum
Islam serta tradisi-tradisi dan sejarah Muslim yang diajar oleh
pengajar Muslim. Beberapa pesantren yang awalnya hanya mengajarkan
kitab-kitab kuning dan bertujuan mencetak kader ulama’, kemudian berubah
dengan menawarkan sekolah formal, seperti madrasah atau sekolah.
Menurut Asian Development Bank (ADB), 21 persen dari seluruh murid
Indonesia setingkat SMP di Indonesia menuntut ilmu di 38.500 madrasah.
Di mana lebih dari setengah murid-murid madrasah adalah anak para petani
dan buruh. Secara umum madrasah melayani kawasan-kawasan pedesaan
miskin dan dengan tingkat aktivitas tertinggi di kawasan-kawasan
terisolir yang hanya memiliki kesempatan pendidikan yang terbatas.
Daerah-daerah ini sering merupakan daerah yang memiliki tingkat
pengangguran dan kemiskinan yang tinggi. Karena itulah, selain berciri
khas umumnya berada di daerah pedesaan/pedalaman, pesantren acapkali
juga diidentikkan dengan pendidikan wong cilik karena lebih
dari separuh santrinya adalah anak petani dan buruh. Kehadirannya telah
menjadi secercah harapan bagi terselenggaranya pendidikan yang
menyeluruh bagi seluruh anak bangsa.
Kurangnya
fasilitas, dana dan tenaga profesional di lingkungan pesantren
mengakibatkan lulusan pesantren yang jumlahnya cukup signifikan
seringkali menjadi gagap saat terjun ke masyarakat. Sulit mencari kerja
dan kalaupun bekerja, mayoritas dari mereka menjadi pekerja tidak
profesional. Seperti menjadi pedagang biasa di pasar-pasar tradisional.
Tidak sedikit pula yang menganggur. Padahal biaya dan waktu yang mereka
habiskan untuk menuntut ilmu di ponpes tidak sedikit. Bisa hingga
belasan tahun atau hampir sama dengan mereka yang mengenyam pendidikan
formal hingga lulus dari perguruan tinggi. Padahal seperti lulusan
sekolah umum, para santripun akan menghadapi tantangan yang tak kalah
kompleks di era persaingan global. Tidak hanya masalah skill, banyak
lulusan pesantren yang merasa inferior, kurang percaya diri atau merasa
warga second class ketika harus bersaing dengan alumni dari
lembaga pendidikan umum. Dalam konteks ini, teknologi informasi (TI)
terutama telepon seluler (ponsel) dan internet, bisa menjadi akseletor
peningkatan daya saing sumber daya manusia (SDM) pesantren. Masalahnya
kemudian, sebagian besar pesantren banyak yang menutup diri dari
sentuhan TI. Sebagian bahkan menganggapnya sebagai musuh.
Teknologi dan Pesantren : Friend or Foe?
Ketika
hampir seluruh penjuru dunia telah bersahabat dengan teknologi informasi
(TI) hampir sepanjang waktu, sebagian besar pesantren di Indonesia
masih banyak yang menutup diri bahkan “mengharamkan” TI terutama telepon
seluler dan internet. Pun ketika harganya semakin terjangkau. Fenomena
ini masih mewarnai sebagian besar pesantren kita hingga sekarang.
Alasan
utama sikap menutup diri tersebut adalah sebagai upaya melindungi para
santri yang mayoritas adalah anak-anak muda, dari pengaruh buruk dan
ketergantungan terhadap TI. Di satu sisi, langkah ini memberi dampak
yang positif. Selain lebih terproteksi dari bahaya buruk seperti
pornografi, para santri umumnya juga bisa hidup ‘tenang dan damai’ bebas
dari pengaruh cyber imperialism (jajahan dunia cyber/maya yang
salah satunya melalui jejaring social). Dengan begitu, seyogyanya
mereka bisa belajar lebih konsen. Namun, kurangnya akses terhadap TI
juga memiliki sejumlah dampak negative terhadap pesantren.
Sebagaimana
kita ketahui, penggunaan TI semakin menjadi bagian yang tak terpisahkan
dari kehidupan masyarakat dunia saat ini. TI terutama internet (sering
disebut pula sebagai raja informasi), memang seperti pisau bermata dua.
Bersamaan dengan pengaruh buruknya yang sangat nyata, internet juga
berdampak sangat revolusioner dalam sejumlah aspek kehidupan manusia,
baik dalam hal berkomunikasi, proses belajar, menggali dan berbagi
informasi, interaksi sosial bahkan hingga bisnis. Jika bisa memanfaatkan
dengan baik, internet bisa menjadi media lompatan yang luar biasa untuk
menjadi SDM yang handal, professional dan berdaya saing tinggi di era
global. Itulah mengapa, negara-negara maju yang umumnya memiliki SDM
handal dan pertumbuhan ekonomi tinggi, akses TI warga negaranya
rata-rata lebih dari separuh total jumlah penduduknya. Sementara itu,
akses negara berkembang terhadap TI umumnya maksimal hanya 30 persen
dari total jumlah penduduk. Sementara untuk negara miskin, akses
masyarakatnya terhadap TI umumnya tidak sampai dari 10 persen jumlah
penduduknya. Ini artinya, tingkat pertumbuhan ekonomi dan kualitas SDM
sebuah negara berbanding lurus dengan akses TI warga negaranya. Lalu
bagaimana dengan Indonesia?
Menurut
data terbaru Global Internet User, jumlah penduduk Indonesia yang
mengakses internet baru berkisar antara 10-20 persen dari total penduduk
Indonesia yang diperkirakan mencapai 240 juta jiwa. Data ini hampir
sama dengan data dari Effective Measure, firma yang memiliki
spesialisasi dalam pengukuran statistik web, yang memperkirakan pengguna
internet di Indonesia pada tahun 2011 mencapai 39.100.000 orang atau
peringkat ke-8 di dunia. Dengan jumlah persentase ini, maka sangat wajar
jika Indonesia masuk kategori negara berkembang dengan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) yang relatif stagnan dari tahun ke tahun
(mengalami penurunan peringkat dari posisi 109 pada tahun 2010 menjadi
124 pada tahun 2011).
Data
yang menunjukkan masih sedikitnya masyarakat pengguna internet di atas
menjadi semakin ironis ketika pada tataran praksisnya, ada sekelompok
besar masyarakat yang dengan sengaja menutup diri pada TI padahal mereka
memiliki potensi kontribusi yang besar sebagai problem solver
masyarakat dan bangsa. Sebagian besar masyarakat lainnya karena factor
infrastruktur, ketidakmampuan ekonomi dan kurangnya pengetahuan belum
bisa memaksimalkan peran positif TI. Akibatnya kita mengalami kesejangan
digital yang berlipat ganda. Dalam tataran negara, kita mengalami
ketertinggalan dan kesenjangan digital dengan negara maju. Dalam
internal masyaarakt Indonesia sendiri, ada kesenjangan yang cukup lebar
dalam masyarakat. Yang salah satunya diwakili oleh pesantren sebagai
representasi masyarakat tradisional menengah ke bawah terutama di
pedesaan dan pedalaman, dan kelompok masyarakat lain yang lebih moderat
terutama di wilayah perkotaan. Kondisi ini mengharuskan kita merumuskan
hubungan dan formulasi TI yang tepat dan bijak bagi pesantren.
Pertanyaan pertamanya adalah, teknologi bagi pesantren itu teman
(friend) ataukah musuh (foe)?
Sifat
dasar TI sebenarnya adalah netral. Bergantung pada siapa yang
menggunakannya. Ini artinya, seyogyanya TI memiliki banyak kontribusi
bagi kemajuan pesantren. Sebagai sarana belajar para santri, menggali
dan berbagi informasi, berdakwah, mendukung semangat entrepreneurship
pesantren, membentuk jaringan dan kerjasama antar pesantren dan masih
banyak lagi. Untuk takaran formulasi yang tepat dan bijak sebenarnya
juga berlaku aturan umum bahwa segala sesuatu termasuk perangkat TI
terutama telepon seluler dan internet, yang terlalu berlebihan apalagi
sampai melanggar aturan dan norma, pasti akan mendatangkan banyak
kerugian. Khusus bagi pesantren yang memiliki aturan dan norma yang
lebih ketat, ini sebenarnya tetap bukan halangan untuk memaksimalkan
peran TI untuk hal-hal yang positif dan bermanfaat. Justru ini bisa
meningkatkan proteksi pesantren terhadap pengaruh buruk TI.
Butuh Akselerasi
Semakin
banyak pihak yang menyadari arti penting TI bagi kemajuan pesantren. Hal
sama juga dirasakan oleh kalangan pesantren sendiri yang kian menyadari
bahwa akan sulit bagi pesantren untuk eksis dan berkontribusi serta
bersaing di era global jika terus menutup diri dan alergi terhadap TI.
Dalam
beberapa tahun terakhir, sejumlah program yang mensinergiskan antara
pesantren dan TI mulai banyak bermunculan. Dan terbukti, ketika para
santri bersentuhan dengan TI, mereka mampu menunjukkan bahwa mereka
mampu bersaing dengan mereka yang berasal dari lembaga pendidikan umum.
Sayangnya, ini masih diwakili oleh segelintir pesantren. Masih terdapat
sejumlah besar pesantren di Indonesia terutama di daerah pinggiran dan
pedalaman yang belum memiliki akses terhadap TI.
Ada sejumlah kendala yang dihadapi pesantren untuk lebih bersahabat dan mengambil banyak manfaat dari TI. Pertama,
keterbatasan sarana dan prasarana. Sebagaimana kita ketahui, sebagian
besar santri di pesantren adalah anak buruh dan petani. Sulit bagi
mereka untuk memiliki perangkat TI meski harganya semakin terjangkau.
Pihak pesantren juga tidak bisa berbuat banyak karena pada umumnya
pesantren bahkan yang sudah memiliki madrasah, tidak memiliki cukup
dana. Meski mampu menyediakan sejumlah perangkat komputer dan jaringan
internet namun seringkali jumlahnya tidak sebanding dengan jumlah santri
yang bisa mencapai ratusan bahkan ribuan. Proses belajar para santri
menjadi kurang optimal.
Kedua,
meski infrastruktur TI di Indonesia semakin baik, pada kenyataannya
masih terdapat sejumlah wilayah pedesaan, pinggiran dan pedalaman,
tempat di mana sebagian besar pesantren kita berada, tidak memiliki
sinyal yang baik. Keadaan ini semakin mempersulit akses pesantren
terhadap TI.
Ketiga,
kendala SDM. Sejumlah pelatihan TI sudah semakin sering diberikan pada
pesantren namun pelatihan oleh pihak internal tidak bisa selalu
diandalkan. Jumlah pelatihan yang ada sangat timpang dengan banyaknya
pesantren yang membutuhkan. Untuk mengandalkan pelatihan internal sangat
sulit karena selain kendala sarana dan prasarana serta infrastruktur,
pesantren juga menghadapi masalah keterbatasan SDM yang krusial. Ini
terjadi karena pada umumnya tidak hanya para santri yang gaptek tetapi juga para pengajarnya (ustadz/ustadzah).
Kendala-kendala di atas seyogyanya dapat diatasi melalui sejumlah upaya dan kerjasama yang intens dari semua pihak. Selain goodwill
dari pihak pesantren untuk lebih terbuka terhadap TI, peran nyata
pemerintah baik pusat maupun daerah juga sangat menentukan. Yang juga
tak kalah penting adalah peran para operator seluler sebagai bagian dari
upaya menyukseskan pendidikan bagi masyarakat di daerah pinggiran dan
pedalaman. Menilik urgensinya dan besarnya antusiasme para santri untuk
belajar, pesantren patut menjadi salah satu kelompok masyarakat yang
harus diprioritaskan saat ini.
Ada
banyak hal yang bisa dilakukan untuk melejitkan potensi pesantren.
Selain penyediaan infrastruktur, berbagai pelatihan yang kontinu
disertai dengan bantuan sarana dan prasarana teknis akan sangat berarti
bagi kemajuan pesantren. Dan sepertinya, tak butuh waktu lama bagi
pesantren untuk mengejar ketertinggalannya untuk kemudian membuktikan
potensi dan kontribusi besar mereka bagi masyarakat dan negara.
Komentar
Posting Komentar